Jumat, 13 Agustus 2010

KONSULTASI PUBLIK

“The propose man and god posies”

Tak Bisa dibungkiri sejak bergambungnya papuake dalam NKRI sejak 1969 melalui penentuan pendapat rakyat (PEPERA) yang diawali 1,025 tokoh masyarakat papua mendapat pertentangan dari berbagai pihak. Orang papua menganggap bahwa pelaksanaan pepera itu sendiri masih bermasalah, sementara pemerintah Indonesia menganggap pepera sudah pinal dimana orang papua telah menjatakan diri bergambung dengan Indonesia. Dengan issue ini masing – masing tetap berdiri pada pendiriannya sementara itu ada rakyat kecil di papua yang menjadi kambing hitam / yang di korbangkan (surrogate victim).

Muncul juga isu – isu kekerasan politik dan pelanggaran HAM terhadap masyarakat papua yang sampai saat ini tidak ada penyelesaian yang tuntas terhadap semua pelanggaran HAM di tanah papua.



Kegagalan pebangunan yang di lakukan massa orde baru dengan menggadeng kapitalisme internasional. Hal itu di tunjukan dengan eksploitasi sumber daya alam besar – besaran, sehingga merusak ekosistem alam papua, bukan hanya itu, kearifan local yang dimiliki orang asli papua ikut tenggelam oleh harus eksploitasi sumber daya alam. Program migrasi yang di lancarkan pemerintah orde baru telah membawa Marjinalisasi terhadap masyarakat asli papua.

Masalah otonomi khusus papuapun menjadi salah satu sorotan utama dalam peralatan konflik ini. Beberapa pihak menginginkan OTSUS sebagai papua nisasi, pelurusan sejarah papua, perlindungan hak – hak orang papua, dan pembangunan untuk orang papua. Tapi di pihak lain mengatakan bahwa OTSUS di letakkan dalam Integrasi Nasional dan pembangunan.

Sehingga ada empat hal yang menguatkan dalam konflik antara nasionalis Indonesia dengan nasionalis papua: pertama, Marjinalisasi dan DIskriminasi yang terjadi pada orang papua, kedua, kegagalan pembangunan, ketiga, kekerasan neraga dan pelanggaran HAM, Ke empat, sejarah dan status politik papua.
Melihat sejumlah soal diatas, banyak orang berbicara soal perlunya dialog baik lewat mendia cetak, Elektronik, penerbitan buku – buku, mendia diskusi di Hanai Adat, para – para Adat di tingkat kampung, local, nasional dan internasional terus di wacanakan. Namun tidak ada yang menjadi inisiator untuk mengajak para pihak untuk duduk dan berdialog.

Atas wacana dan gagasan itu, Lembaga Jaringan Damai Papua (LJDP) mencobah untuk menfasilitasi ke dua belah pihak, antara orang papua dengan pemerintah Indonesia agar menjudai konflik politik dan social yang umurnya cukup lama ini. Untuk mencapai tujuan itu maka salah satu sarananya adalah melakukan dialog yang progretif dan konstruktif. Sebelum berdialog, JDP mencoba menjaring Aspirasi dari berbagai kalangan masyarakat papua khususnya mahasiswa/ I papuayang memiliki padangan yang progretif dalam konstruktif argumentasi yang solutif.

Proses konsultasi public ini telah berlangsung di berbagai daerah, seperti Wamena, Timika, Manokwari, Sorong, Biak, Nabire, Paniai, Jayapura, serta Merauke dan yang masih ada daerah lainnya yang akan di laksanakan dalam beberapa munggu ke depan dalam bulan ini dan bulan depan.


Kali ini JDP mencoba untuk menjaring aspirasi dan sosialisasi pada mahasiswa papua di yogyakarta dan berbagai kota studi di jawa dan bali. Ada dua pertanyaan yang kiranya kawan kawan masyarakat dan mahasiswa /I papua di jawa timur dan bali dapat merenungkan dan menulisnya tetapi juga dapat di presentasikan pada forum konsultasi public. Dua pertanyaan itu sebagai berikut:


Apa yang menjadi masalah di papua?


Bagimana cara menyelesaikan nya?






Masalah papua menuju dialog.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar